Jumat, 23 November 2018

Guru Premature



Saat itu adalah hari pertamaku berkenalan dengan murid-murid di SMP-SMA Bina Insani Susukan Salatiga. Beberapa Mereka menyambutku dengan Gelak tawa  bahagia, sebagian yang lain tidak menghiraukanku, ada juga yang hanya berdiam diri di tempat duduknya menatap langit-langit tanpa makna. Dinamis memang. Seketika MC menyuruh semua orang untuk  berdiri memberikan riuh tepuk tangan  saat aku menaiki podium.

Hari itu, posisiku bukan sebagai gadis remaja berumur 16 tahun  melainkan seorang guru yang siap mengabdikan dirinya menjadi pendidik, suri tauladan banyak orang, mengajarkan apapun yang ku bisa. Seyogyanya pahlawan tanpa tanda jasa lainnya. 

Saat itu aku baru lulus SMA. Aku bukan mahasiswa jurusan pendidikan yang sedang melakukan micro teaching, aku hanya siswi lulusan SMA yang diberi tugas untuk mengabdi. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanya ditugaskan mengabdi. Meskipun saat itu gelarku berubah menjadi “ustadzah”.

Aku mulai memperkenalkan diri dengan mengucapkan sepatah 2 patah kata diatas panggung. Tiba-tiba mereka tertegun saat mengetahui usiaku sebaya dengan mereka. Bahkan ada yang lebih tua dariku. 

Sejujurnya aku tak peduli dengan pandangan mereka terhadapku. Lirikan, cibiran, dan hilangnya hormat terhadapku sudah ku prediksikan jauh-jauh hari sebelum aku datang ke tempat ini. Aku tahu tidak semua orang dapat menerimaku, terutama saat aku menjadi guru. Guru yang premature tentunya, menurut mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar